27 May 2009

ungkap.

sinetron memang mungkin tidak akan menjadi semurahan itu andai semua orang tidak sedemikian gengsi untuk mengakui bahwa hidup memang sebuah drama.
drama yang kadang terlalu fiksi sampai-sampai anda tidak sampai hati menyebutnya betulan ada.
saya, salah satu yang terlalu gengsi.
sampai-sampai hanya untuk bercerita saja saya ogah menjadi deskriptif,
karena memang sejujurnya hanya bingung, yang ada di otak saya.
saya dikaburkan fakta dan rasa yang membaur terlalu akrab, sampai-sampai saya tidak mengerti lagi dimana letak prioritas saya yang dulu saya agung-agungkan.
sahabat.
ketika segalanya belum terlanjur, saya hibur dia dengan kata-kata.
kata-kata yang kata dia begitu puitis dan merasuk sampai dia bisa bilang 'kamulah yang paling mengerti, sahabat' lalu memeluk saya hangat.
tapi, ya, percaya atau tidak memang saya rasakan sakit yang dia simpan ketika itu.
pahit yang dia usahakan selalu tersembunyi.
tapi nyatanya saya menjadi brengsek,
kenapa?
kenapa?
kenapa?
sumpah, saya juga tidak mengerti!
kata orang, ikuti kata hati.
tapi jika hati membawa jatuh, saya sudah tidak mengerti lagi.
kapok saya,
terlalu mendengarkan kata hati.
tapi semua kemudian menjadi terlanjur, dan tak lama lagi menjadi cerita.
yang paling parah, sesal dan syukur itu menjadi tak terpisahkan.
karena nyatanya saya dimanjakan dengan fakta yang begitu sinetron.
picisan,
tapi romantis.
demi Tuhan, sesal itu ada.
sesal karena telah menjadi sakit.
telah menjadi sakit yang begitu sakit karena dulunya cita-cita saya menjadi si pelipur lara.
bukan si pembawa pisau.
tapi apa saya sebegitu jahatnya,
sampai saya juga merasakan senang yang setengah mati,
karena hati yang tak hentinya membuat saya tidak konsentrasi?

maaf.maaf.maaf.maaf.maaf.maaf.terima kasih.

No comments:

Post a Comment